17 Feb 2018
Foto: 123RF
Tiap profesi punya risiko. Seorang programmer komputer berisiko terpapar sinar dari monitor terus-menerus, seorang penari balet harus berdiri di ujung jari kaki selama berjam-jam tiap hari. Sementara profesi seperti juru masak dan penulis boga mesti menjejali mulut dan perut dengan berbagai makanan. Semua itu bisa saja menimbulkan gangguan kesehatan di masa datang. Namun, bukan berarti seorang chef harus kelebihan berat badan dan berisiko terkena serangan jantung atau diabetes di kemudian hari. Selalu ada cara untuk mencegahnya, seperti usaha yang dilakukan oleh profesional ini.
Vania Wibisono, 38, Pemilik Resto Stillwater & Co dan The Betawi Salad
Foto: Dok. Pribadi
Setelah menjadi sarjana psikologi, saya belajar di sekolah memasak. Di kemudian hari, bidang ini justru menjadi pekerjaan yang saya geluti. Dalam proses pembuatan restoran, banyak hal yang harus saya lakukan sebagai chef. Mulai dari riset dengan mencicipi berbagai makanan dari berbagai restoran untuk mencari inspirasi, hingga menciptakan resep baru sebagai menu yang akan disajikan.
Meski The Betawi Salad adalah restoran berkonsep makanan sehat, dalam proses pembuatan menunya saya harus melewati proses yang mengharuskan saya mengonsumsi porsi makan yang lebih banyak dari biasanya. Terkadang, saya juga terpaksa mengonsumsi makanan berkalori dan berlemak tinggi. Apalagi saat menyiapkan restoran Stillwater & Co, yang menunya kebanyakan berupa sandwich, roti berisi aneka bahan, seperti daging, keju, dan sayuran.
Walaupun porsi yang saya coba kecil, tapi karena ragamnya banyak, tetap saja kalorinya jadi tinggi. Tak cuma sehari dua hari, proses menyiapkan restoran, bisa berlangsung berbulan-bulan. Dalam mencari inspirasi terkadang saya juga mencoba berbagai makanan yang dijual di pinggir jalan, yang mungkin tidak terlalu higienis.
Untungnya perut saya cukup kuat untuk diajak bergaul dengan street food. Tapi, berat badan tidak bisa dibohongi. Saat menciptakan menu, berat badan saya naik dari bobot tubuh 56 kg. Masalahnya, saat menyusun menu, saya harus tahu apakah porsinya sesuai dengan yang saya inginkan. Artinya, tidak terlalu kecil atau terlalu besar dan sesuai dengan takaran kalori tertentu.
Selain itu, saya juga perlu tahu after taste-nya. Jadi, ada kalanya saya harus makan banyak. Untungnya, saya tidak harus menciptakan resep baru tiap hari, jadi saya bisa punya waktu untuk kembali ke pola hidup sehat. Biasanya, pada hari-hari saat tidak harus menciptakan menu, saya banyak minum air putih dan sayuran. Hitung-hitung detoksifikasi. Apa yang saya lakukan ini adalah investasi untuk kesehatan di masa depan.
Saya juga ingin mengubah persepsi bahwa profesi sebagai chef identik dengan tubuh subur dan perut tambun. Saya lihat memang banyak chef yang begitu. Belajar
dari pengalaman ibu saya yang terkena kanker payudara, padahal ia seorang dokter, saya berusaha sebisa mungkin mengimbangi profesi saya dengan rutin berolahraga minimal 30 menit sehari, berenang atau lari.
Trik lain, saat mencicipi menu di restoran lain saya berusaha menahan keinginan untuk menghabiskan makanan. Cukup makan sedikit sampai memahami rasanya.
Makanya, saya sering mengajak teman saat icip-icip. Saya juga sering mengundang teman-teman untuk mencoba resep makanan yang baru. Dengan begitu, saya
bisa menguji cita rasa makanan sekaligus mendapat masukan dari orang lain. Teman-teman saya kan juga calon pelanggan, jadi masukan mereka sangat berarti.(f)
Baca juga:
Olahraga dan Pola Makan Teratur Kunci Sehat Profesi di Bidang Kuliner
5 Komposisi Tepat Makan Sehat yang Wajib Anda Ketahui
76% Generasi Muda Mengkonsumsi Makanan Sehat
Nuri Fajriati
Topic
#profesikulinerhttp://ift.tt/2svLibw